Cerita berikut ini disarikan dari buku lama “Oost Indische Spiegel” tulisan Rob Nieuwenhuys (1972) yang berisikan kisah-kisah di Indonesia sebelum tahun 1900.
Rob Nieuwenhuys adalah seorang sastrawan Belanda kelahiran Semarang dan besar di Surabaya serta Jakarta sebelum ia berkarier di Belanda. Minat utamanya adalah karya-karya sastra dan non-sastra yang terbit di Indonesia sebelum tahun 1900. Ia pernah menyoroti karya-karya ahli bahasa van Eysinga (1796-1856), asisten residen Lebak Douwes Dekker (1820-1887), ahli budaya Batak dan Bali van der Tuuk (1824-1894), wartawan dan sastrawan roman P.A. Daum (1850-1898) dan kini yang mau saya ceritakan sedikit : Georg Eberhard Rumpf atau Rumphius (1628-1702), naturalis Jerman di Ambon yang luar biasa.
Membaca kisah Rumphius, mengingatkan saya kepada naturalis Inggris Alfred Russel Wallace yang saat demam menyerangnya di Halmahera, menyempatkannya menulis sebuah artikel yang dikirimkan kepada Charles Darwin sahabatnya di Inggris dan mengejutkannya setengah mati. Wallace menemukan ide yang sama dengan ide yang tengah dipikirkannya bertahun-tahun : evolusi. Artikel dari Halmahera ini telah mendorong Darwin segera membukukan teori evolusi melalui The Origin of Species (1859) sebelum tersusul Wallace (tentang Wallace, saya lampirkan di bawah, ulasan hampir empat tahun yang lalu, khususnya untuk rekan2 milis yang empat tahun lalu belum bergabung)
Adalah Rumphius yang bekerja luar biasa di Ambon meneliti semua tumbuhan dan fauna serta kerang-kerang di laut dan menemukan sistem penamaan binomial serta sistematika biologi lebih dari 50 tahun sebelum Carolus Linnaeus mengeluarkan sistematika binomialnya (Systema Naturae) pada tahun 1740. Sayang, mahakarya Rumphius tak tersiar ke dunia ilmu pengetahuan saat itu karena sebuah intrik. Kalau bisa tersiar, maka Ambon akan dikenang sebagai lokasi tipe systema naturae. Sama halnya dengan intrik antara Charles Lyell dan Charles Darwin agar artikel Halmahera Wallace tak menjadi dasar teori evolusi. Kalau saja Halmahera dan Ambon sempat mengemuka, Indonesia akan selalu dikenang dalam teori evolusi dan systema naturae lebih daripada Galapagos. Sebuah bukti buat kita semua bahwa di dalam ilmu pengetahuan pun ada intrik juga.
Barangkali kita pernah mendengar kisah Rumphius ini baik secara samar-samar maupun dengan jelas. Yang diceritakan Rob Nieuwenhuys ini lain daripada yang lain. Artikel-artikel tentang Rumphius yang pernah saya kumpulkan tak menceritakan apa yang diceritakan Nieuwenhuys ini.
Georg Eberhard Rumpf lahir di Jerman tahun 1628. Ia terpesona dengan cerita tentang Maluku sebagai penghasil rempah-rempah. Maka ia mendaftarkan diri sebagai tentara VOC dan khayalannya tentang Maluku terwujud pada tahun 1653 saat armada VOC merapat di Ambon (armada ini juga yang berperang melawan Sultan Hasanuddin dari Makassar akibat persaingan perdagangan rempah-rempah dari Maluku).
Rumpf tidak lama jadi tentara sebab panggilan jiwanya bukan sebagai militer. Ia meminta dipindahkan ke bagian sipil dan disetujui. Tahun 1656 Rumpf diangkat sebagai saudagar VOC di Larike, sebuah dusun terpencil di pantai utara Ambon di Semenanjung Hitu. Tahun 1660 Rumpf pindah menjadi saudagar di Hila masih di Hitu juga. Daripada memperkaya diri dan memperkaya VOC, Rumpf mulai terbuka matanya kepada dunia alam Pulau Ambon. Ia menikahi gadis Ambon dan mulailah mempelajari semua tanaman yang ditemuinya. Rumpf mempunyai ambisi ingin membukukan semua flora yang ada di Pulau Ambon.
Maka, perlahan tapi tanpa terhenti, Rumpf mempelajari, memaparkan, memberi nama dalam bahasa Ambon, Melayu, dan Latin semua tumbuhan yang dipelajarinya. Ia menggambar dengan teliti rupa tanaman yang dipelajarinya, menceritakan faedah khususnya untuk menyembuhkan penyakit (untuk ini ia banyak mendengarkan cerita penduduk setempat). Istri dan anak-anaknya membantunya dengan setia. Rumpf pun melakukan beberapa eksperimen dengan tanaman untuk benar-benar mengetahui khasiatnya.
Maka, perlahan tapi tanpa terhenti, Rumpf mempelajari, memaparkan, memberi nama dalam bahasa Ambon, Melayu, dan Latin semua tumbuhan yang dipelajarinya. Ia menggambar dengan teliti rupa tanaman yang dipelajarinya, menceritakan faedah khususnya untuk menyembuhkan penyakit (untuk ini ia banyak mendengarkan cerita penduduk setempat). Istri dan anak-anaknya membantunya dengan setia. Rumpf pun melakukan beberapa eksperimen dengan tanaman untuk benar-benar mengetahui khasiatnya.
Sampai tahun 1670, atau sekitar sepuluh tahun setelah Rumpf mempelajari tanaman-tanaman Ambon, ia mulai banyak mengadakan kontak dengan sarjana-sarjana Eropa. Sejak itu namanya lebih terkenal sebagai “Rumphius” sesuai selera ilmu pengetahuan pada zaman itu (zaman Renesans) yang sedang gandrung akan nama-nama Latin atau Yunani.
Tetapi pada tahun 1670 juga, penglihatan Rumphius mulai kabur akibat suatu penyakit bernama staar yang tak bisa disembuhkan. Akhirnya ia mengalami kebutaan total. Bagaimana seorang naturalis bila buta ?
Tetapi Rumphius tidak akan menjadi terkenal kalau patah semangat karena kebutaannya. Ia dan keluarganya pindah dari Hitu ke Ambon. Dan karier Rumphius tetap dapat dukungan penuh dari Batavia, ia tetap digajih, bahkan diberi juru tulis dan juru gambar. Sementara itu, istri dan anaknya tetap membantu Rumphius sepenuh waktu untuk meneruskan karyanya yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun itu.
Setelah buta bahkan Rumphius menambah pengamatannya akan semua jenis kerang yang ada di perairan Ambon. Ia tetap mendengarkan cerita-cerita penduduk tentang kerang-kerang itu lalu mendiktekan kepada anaknya atau juru tulisnya untuk menuliskannya. Ia meraba, mencium, dan mendengar - itulah senjata-sejata untuk deskripsinya. Rumphius makin mencintai alam Ambon sungguhpun ia buta.
Namun, bencana datang lagi. Gempa dahsyat melanda Ambon pada 17 Februari 1674. Gempa ini menewaskan orang-orang yang paling dicintainya : isterinya dan anaknya - dua orang yang setara dengan dia sendiri, penunjuk jalan yang setia akan keajaiban Ambon. Gempa ini juga menewaskan sebanyak 2322 penduduk Ambon. Nah, dari mana lagi akan datang pertolongan untuk Rumphius ?
Sungguh luar biasa, dalam tahun itu juga, Rumphius berhasil menerbitkan buku pertama tentang sejarah alam Ambon, berjudul Sejarah dan Geografi Pulau Ambon. Sayang, buku ini tetap terkunci rapat di kantor VOC di Ambon sebab VOC takut bila buku ini tersebar akan menguntungkan pesaing-pesaing VOC. Di kemudian hari, setelah Rumphius tiada, buku ini ditemukan seorang pendeta bernama Valentijn dan menerbitkannya atas namanya sendiri…(!)
11 Januari 1687 bencana ketiga menimpa Rumphius dan kota Ambon. Kota Ambon dimangsa si jago merah yang hebat alias kebakaran. Api menghanguskan gambar-gambar untuk bukunya tentang tumbuhan, menghanguskan konsep naskah tentang kerang, dan juga menghanguskan koleksi tumbuhan dan kerang yang lebih dari 15 tahun dikumpulkan Rumphius. Untunglah naskah tentang tumbuhan Ambon bisa diselamatkan. Dan, untunglah VOC tetap mendukung Rumphius dengan membantunya menugaskan juru tulis dan juru gambar untuk menulis dan menggambar ulang semua dokumen yang telah dilalap si jago merah.
Tahun 1690 mahakarya Rumphius pun selesai, dua belas jilid banyaknya, sebuah karya raksasa yang disusun selama lebih dari 20 tahun dengan berbagai suka dan duka. Rumphius mengirimkan karyanya kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Karyanya baru diteruskan ke Belanda pada tahun 1697 setelah selama tujuh tahun disalin di Batavia oleh Gubernur Jenderal Camphuys - seorang pencinta alam Indonesia juga. Lebih sial lagi, ternyata karya raksasa Rumphius ini tersimpan selama 44 tahun di arsip VOC di Belanda dengan alasan keamanan (!). Maka, tersusullah karya Rumphius ini oleh karya Systema Naturae Carolus Linnaeus, ahli biologi Swedia, yang menerbitkan karyanya pada tahun 1740 dan memperkenalkan sistem penamaan binomial. Padahal, Rumphius dari Ambon telah menemukan sistem penamaan itu 50 tahun lebih awal.
Tahun 1699, Rumphius masih mengeluarkan sebuah buku berjudul “Kotak Keajaiban Pulau Ambon” yang membahas kerang-kerang di perairan Ambon. Bukunya ini bernasib lebih baik daripada buku-buku sebelumnya. Rumphius tak mengirimkan buku ini kepada pejabat-pejabat VOC, tetapi mengirimkannya langsung kepada seorang sahabatnya di Belanda dan menerbitkannya pada tahun 1705. Tetapi, Rumphius tidak melihat satu bukunya pun terbit, sebab ia meninggal di Ambon pada tahun 1702.
Cerita Nieuwenhuys, sampai Perang Dunia kedua, makam Rumphius masih suka dikunjungi orang, tetapi sekarang tak seorang pun tahu di mana makam ilmuwan besar buta ini.
Barang siapa pernah membaca deskripsi tumbuhan atau kerang yang ditulis Rumphius, tak akan mengira kita bahwa penelitinya adalah seorang buta. Tak berlebihan bila Rumphius pernah dijuluki “orang buta yang berpandangan jauh” - barangkali mirip komponis klasik Ludwig van Beethoven yang menganggit simfoni nan megah sekalipun ia tuli.
Pengamatan, pelukisan, dan cinta Rumphius kepada alam Maluku tak ada taranya. Ia sungguh jatuh cinta kepada Ambon Manise.
Rumphius - teladan bagi dunia naturalis Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar